Hamas Tegas Tolak Letakkan Senjata
Hamas Tegaskan Tidak Akan Letakkan Senjata Sebelum Palestina Merdeka
wantmag.com – Hamas kembali menegaskan bahwa mereka tidak akan meletakkan senjata sebelum negara Palestina yang berdaulat benar-benar terbentuk. Pernyataan tegas ini disampaikan sebagai respons atas klaim bahwa Hamas telah menyatakan kesediaan untuk melucuti senjata dalam kerangka negosiasi gencatan senjata dengan Israel.
Klaim tersebut dikaitkan dengan pernyataan Steve Witkoff, utusan Timur Tengah dari Presiden Amerika Serikat. Dalam keterangannya, Witkoff menyebut bahwa Hamas terbuka untuk meletakkan senjata. Namun, Hamas membantah keras pernyataan itu dan menyatakan bahwa senjata tetap menjadi bagian dari hak mereka untuk melawan selama belum ada kemerdekaan penuh Palestina.
Israel menjadikan pelucutan senjata Hamas sebagai syarat utama untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Gaza. Negosiasi antara kedua pihak pun kembali mengalami kebuntuan pekan lalu. Hamas menilai bahwa upaya damai tidak akan adil jika disertai tuntutan sepihak tanpa adanya pengakuan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Negara Barat Desak Hamas Menyerah, Tapi Hamas Tetap Bersikeras
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah negara Arab dan Barat mendorong Hamas untuk melucuti senjata dan menyerahkan kendali atas Gaza. Dorongan ini datang seiring dengan makin banyaknya negara seperti Prancis dan Kanada yang menyatakan dukungan untuk mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Inggris bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan secara resmi mengakui negara Palestina jika Israel tidak memenuhi persyaratan tertentu pada September. Namun, Hamas menyatakan bahwa pengakuan tersebut belum cukup tanpa jaminan atas hak kedaulatan penuh dan status Yerusalem sebagai ibu kota.
tidak dapat menyerahkan haknya untuk melawan dan menggunakan senjata kecuali negara Palestina yang merdeka dan berdaulat telah berdiri,” bunyi pernyataan resmi
Tekanan internasional yang semakin besar justru memperkuat posisi untuk bertahan. Mereka menilai perjuangan bersenjata masih diperlukan sebagai alat politik dan pertahanan selama hak-hak dasar rakyat Palestina belum dijamin oleh komunitas internasional.
Negosiasi Terhambat, Kondisi Gaza Makin Memburuk dan Picu Kritik Global
Sementara itu, kondisi kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Badan-badan PBB melaporkan bahwa lebih dari 1.300 warga Palestina tewas saat mencari makanan sejak akhir Mei 2025. Mereka menyalahkan Israel atas pembatasan masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.
Israel membantah tuduhan tersebut dan menyatakan tidak ada kelaparan di Gaza. Namun, kritik terus mengalir dari lembaga internasional dan masyarakat sipil global yang menuntut adanya akses bantuan yang lebih luas.
Utusan AS, Steve Witkoff, telah mengunjungi wilayah tersebut dan bertemu keluarga sandera serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dalam pernyataannya, Witkoff menekankan bahwa prioritas utama adalah penghentian konflik dan pembebasan semua sandera, bukan kesepakatan parsial yang tidak menyeluruh.
sempat merilis video sandera yang menunjukkan kondisi fisik buruk. Keluarga sandera mengecam dan mendesak pemerintah AS serta Israel untuk segera bertindak.
Ketegangan yang terus meningkat menunjukkan bahwa solusi damai masih jauh dari jangkauan. Selama tidak ada kemajuan konkret dalam pembentukan negara Palestina, menolak untuk menyerah atau meletakkan senjata. Komunitas internasional kini dihadapkan pada dilema antara tekanan diplomatik dan kebutuhan untuk solusi politik yang adil dan menyeluruh.
Serangan Dekat Lokasi Bantuan Gaza Tewaskan Warga, Israel dan Hamas Saling Tuduh
Situasi kemanusiaan di Gaza kembali memanas setelah serangan militer Israel di dekat area distribusi Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) menewaskan puluhan warga sipil. Lokasi bantuan tersebut diketahui didukung oleh Israel dan Amerika Serikat. Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa sebagian besar korban merupakan warga sipil yang sedang menunggu bantuan pangan dan obat-obatan.
Israel membela diri dengan menyebut bahwa serangan itu tidak disengaja dan menuduh sengaja memicu kekacauan di sekitar area distribusi. Militer Israel berdalih pasukannya hanya menanggapi situasi darurat saat terjadi kerumunan yang dianggap membahayakan. “Kami tidak pernah menargetkan warga sipil, namun menciptakan situasi kacau di lapangan,” demikian pernyataan juru bicara militer Israel.
Serangan ini terjadi di tengah operasi militer besar-besaran Israel di Jalur Gaza sebagai respons atas serangan pada 7 Oktober 2023. Serangan waktu itu menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan membuat 251 orang disandera. Hingga kini, operasi balasan Israel telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola
Selain itu, laporan terbaru juga menyebut 169 warga, termasuk 93 anak-anak, meninggal akibat malnutrisi sejak pembatasan bantuan makin diperketat. Kondisi ini memicu kecaman internasional yang menuntut perlindungan bagi warga sipil dan akses kemanusiaan yang adil.
Badan-badan PBB mengingatkan bahwa blokade dan serangan di Gaza berpotensi memicu bencana kemanusiaan yang lebih luas. Komunitas internasional diharapkan segera mengambil langkah konkret agar distribusi bantuan berjalan aman dan penduduk sipil terlindungi dari dampak konflik yang terus berlarut.
”Simak juga: SYL, Mengungkap Nama Surya Paloh dalam Pembelaannya“